Logika Hukum Analisis Kasus dalam Presfektif Normatif, Filosofis dan Impiris



                                                                Palu Sidang Hakim

Bunda : Nur Hikmawati, SH. MH

LOGIKA HUKUM
Analisis Kasus dalam Presfektif Normatif, Filsofis dan Impiris

Oleh:
Muh. Basri
04020130296
 Kelas: C.8





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015/2016



Analisis Pendekatan Impiris/ Sosiologis :

Kajian masyarakat Indonesia dalam presfektif sosiologis pada dasarnya masyarakat  dewasa ini sedang berada dalam arus perubahan yang terjadi secara cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang semula bebasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu diikuti oleh penyesuain pada segi kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum positifnya maupun penyesuaian di bidang peradigmatif, landasan filosofis, teori dan konsepsi serta pengertian-pengertian masyarakat sudah melanggar etika maka tidak wajar jika hanya mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI dan seharusnya dipecat secara tidak terhormat.
Dalam abad 20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran bidang-bidang dalam masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan demikian pengaturan yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang demikian.
Pada sisi lainnya sebagai suatu bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia merupakan subyek hukum yang merdeka pula. Artinya sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia terlibat penuh ke dalam aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari pembuatan sampai pelaksanaannya.  Hal ini tentunya berbeda dengan kehidupan hukum di masa Hindia Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia tidaklah mempunyai tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah perencanaan, pembangunan, pemeliharaan dan penegakan hukumnya. Bangsa Indonesia hanya menjadi penonton pinggiran dan menjadi obyek kontrol dari hukum, segala keputusan dan strategi pembanguan hukum ditentukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda.
Sejalan dengan itu mulai muncullah tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai dengan politik pembangunan negara.  Dengan demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsirannya serta penerapan pasal-pasal undang-undang secara semestinya, melainkan bergerak kearah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan baru. Ia tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan sosialnya, akan tetapi harus melihat hukum sebagai suatu lembaga yang selalu terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang hidup.

Sebagai konsekuensinya maka para sarjana hukum pun dituntut untuk memahirkan diri dalam segala segi kehidupan sosial serta temponya, yang berarti pula, bahwa ia hendaknya memahirkan diri dalam ilmu-ilmu yang menggarap masalah-masalah itu, satu diantaranya ilmu sosial. Pada titik inilah mulai mengedepan pandangan-pandangan sosiologis terhadap hukum.
Pendekatan sosiologis ini mendasarkan pada Pandangan positivistik yang berpegang teguh pada toeri korespondensi tentang kebenaran. Menurut teori ini, kebenaran itu adalah kesamaan antara teori dan dunia kenyataan. Itu berarti bahwa hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara subyek (ilmuan) dan objek (dunia kenyataan). Teori yang berhasil berkorespondensi dengan dunia kenyataan menghasilkan pengetahuan objektif sebagai produknya. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif eksternal, artinya ia mendekati dunia kenyataan  sebagai soerang pengamat yang meregistrasi apa yang dilihatnya.  Yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ilmu hukum, melainkan hanya sebagai keahlian hukum terdidik, atau kemahiran hukum terdidik.
Pandangan positivistik sebagaimana terungkap diatas mendapatkan sandaran pembenarnya pada model ilmu ideal menurut : Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal.

Menurut ajaran ilmu atomisme logikal yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein ini, pengetahuan dapat dikatakan ilmiah, jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati. Hal itu hanya dapat terjadi jika pengetahuan itu secara langsung dapat dikembalikan pada unsur-unsur yang tertangkap dalam pengamatan yang pasti tidak diragukan lagi.
Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (yang disebut fakta-fakta atomair) yang menjadi objek dari penyadaran langsung. Dengan demikian pengetahuan sangan bersifat empiris. Apa yang tidak dapat diamati (secara indrawi) — seperti misalnya kaidah hukum dan semua yang bersifat normatif — tidak dapat diketahui.  Semua putusan yang dibuat demikian adalah subjektif dan tidak dapat disebut sebagai kebenaran; mereka lebih bertumpu pada spekulasi.

Dua syarat terpenting yang harus dipenuhi oleh suatu putusan ilmiah adalah : (a) putusan tersebut harus bertumpu pada penyadaran langsung terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan; (b) keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu dengan yang lainnya secara konsisten logikal. Ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu teori ilmiah yang ideal.

Sedangkan ajaran positivisme logikal yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap dan Moritz Schlick, berpegang teguh pada sifat empiris dari pengatahuan ilmiah.
Menurut mereka, pengetahuan yang lain adalah tidak obyektif. Untuk menguji kebenaran mereka mendasarkan pada kriterium asas verifikasi, yang menyatakan bahwa hanya putusan-putusan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris saja yang dapat dianggap benar, artinya yang dapat diuji dengan kenyataan yang dapat diamaati secara indrawi

Jika orang menguji suatu putusan ilmiah dan hasilnya putusan tersebut sesuai dengan kenyataan, maka putusan itu sudah diverifikasi, artinya kebenarannya sudah dikuatkan
Metode induksi sesuai dengan kedua pandangan tersebut, karena mereka mengajukan bahwa penggambaran fakta-fakta atomair atau yang dapat diamati pada tataran yang lebih umum dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal dikonstruksikan menjadi teori ilmiah.
Metode empiris mereka, adalah satu-satunya metode yang dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah.  sedangkan metode-metode lainnya menghasilkan pengetahuan subjektif dan spekulatif, sebab hanya metode empirislah yang memungkinkan orang lain dengan cara objektif dan sangat persis menguji hasil-hasil ilmiah yang ditemukan.
Pendekatan sosiologis terhadap hukum ini mulai muncul ke permukaan seiring dengan adanya tuntutan agar ilmu hukum dapat lebih difungsikan untuk memberikan sumbangannya di dalam masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan.
Pendekatan ini mulai diperlukan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan semata-mata sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan dalam masyarakat.  Dalam hal ini menurut Satjipto Rahardjo, minat kita terutama tertarik kepada dua hal, yaitu : (a) Proses-proses hukum tidak dilihat sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, melainkan, ia kita lihat sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial yang lebih besar. Dengan demikian yang tengah berlangsung di situ adalah juga suatu proses interchange dari kekuatan-kekuatan serta sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat; (b) Tempat hukum di dalam masyarakat, yaitu fungsi apakah yang dijalankan oleh hukum.

Hal ini tentu memerlukan adanya peralihan dan perubahan pandangan kearah sudut yang lebih mendekati ilmu-ilmu sosial. Hukum yang semula hanya berorientasi kepada hal-hal yang praktis dan penyelesaian-penyelesaian sengketa atas dasar norma-norma yang diasumsikan mempunyai keabsahan mutlak untuk berbuat demikan itu, sekarang harus memalingkan diri pada dasar-dasar pemikiran yang lebih luas kepada penyusunan teori-teori atas dasar kenyataan-kenyataan sosial yang dihadapi.
Didalam kerangkan akademis, penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagi usaha untuk memungkinkan pembentukan teori-teori hukum yang sosiologis sifatnya. Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum, menurut jalan pikiran yang yuridis-tradisional, yang lebih-lebih melihat serta menelaah hukum sebagai kedaan daripada hukum sebagai suatu proses.
Sosiologi hukum merupakan ilmu nomogratifs yang tugasnya adalah melakukan pencatatan dan penilaian mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia empirik serta kemudian berusaha memberikan penjelasannya, hal ini sangat berarti bagi dunia praksis, khususnya untuk membantu pengambilan keputusan yang berkualitas, baik dalam pembuatan undang-undang maupun dalam penegakan hukum
Hal ini dimungkinkan karena sosiologi hukum mempergunakan optik deskriptif. Pandangan yang demikian tidak dimasudkan untuk memberikan suatu pedoman atau petunjuk tingkah laku konkrit kepada anggota masyarakat, melainkan hanyalah untuk memberikan penjelasan, mengenai seluk beluk kedudukan dan bekerjanya hukum didalam masyarakat. Untuk itu pertama-tama ia tidak bersikap memihak terhadap hukum positif, ia menggunakan detached-concern.  Bila ia berhadapan dengan hukum positif, maka itu diterimanya sebagai suatu kenyataan, diantara berbagai macam kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat.
Dengan digunakannya pendekatan yang demikian maka diharapkan akan tercipta sarjana-sarjana hukum yang mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing.
















Penutup
Pada dasarnya pendekatan normatif dan pendekatan sosiologi terhadap hukum, mempunyai perbedaan-perbedaan yang tidak bersumber pada suatu pertentangan, akan tetapi oleh karena kadar referensinya yang berbeda. Hal tersebut terutama disebabkan, oleh karena referensi soerang yuris adalah kaidah, sedangkan seorang sosiolog bertujuan untuk membuat pernyataan umum atau membentuk teori tentang kenyataan dengan maksud untuk memperjelas kenyataan tersebut.  Referensi seorang sosiolog memberikan petunjuk bagaimana meninjau gejala yang sama  dengan cara yang berbeda dan untuk kemudian menggambarkannya dengan suatu perumusan yang berbeda pula.
Pemisahan yang tegas antara pendekatan normatif dan sosiologis terhadap hukum, tidaklah perlu terjadi, apabila disadari bahwa ke dua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan dan masing- masing mempunyai perannya sendiri dalam pengkajian hukum
Dengan demikian yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah adakah kemungkinan penyerasian kedua pendekatan tersebut demi terciptanya ilmu hukum yang lebih baik di masa mendatang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Analisis Putusan PTUN Tingkat Pertama

Inilah Kader Baru DAD Angkatan ke III PIKOM IMM UMI

IMM UMI Berhasil Mekar menjadi Dua PIKOM