Delik Kejahatan Berbuat sesuatu atau tidak Berbuat seuatu
Timbangan Keadilan dan Palu Sidang
TINDAK PIDANA (DELIK)
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak
Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
2. Larangan
ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
3. Antara
larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula.
“ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan
orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkan olehnya.
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
- Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
- Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
- Melawan hukum (onrechtmatig)
- Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
- Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana,yakni
Unsur Obyektif :
- Perbuatan orang
- Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
- Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur Subyektif :
- Orang yang mampu bertanggung jawab
- Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Jenis-Jenis Tindak Pidana
1. Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP
tidak memberikan kriteria tentang dua hal tersebut, hanya membaginya
dalam buku II dan buku III, namun ilmu pengetahuan mencari secara
intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a. Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang
bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik,
ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah
yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi
yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan
keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut
“kejahatan” (mala perse).
2. Wetsdelicten
Ialah
perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan
jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut
“pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima,
sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum
dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan
sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada
“pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa
keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
b. Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang
bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada
perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu
lebih ringan dari pada “kejahatan”.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan
yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya
perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan
(pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan
atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di
Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah
palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian
(pasal 362 KUHP).
b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang).
Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah
terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan
(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam
misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah,
ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan,
misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522
KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531
KUHP).
c. Delik
commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan
larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan
cara tidak berbuat.
Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu
(pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194
KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
b. Delik
culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal :
pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik
berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa
kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik
yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan
terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang
(pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij)
misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284
KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub
2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik
aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini
menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
b. Delik
aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena
dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang
yang terkena.
Delik laporan:
delik yang penuntutannya dapat dilakukan tanpa ada pengaduan dari pihak
yang terkena, cukup dengan adanya laporan yaitu pemberitahuan tentang
adanya suatu tindak pidana kepada polisi.
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik
yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka
berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada
waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya
diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan
kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa
yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU
Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
SUBYEK TINDAK PIDANA
Bahwasanya
yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan
penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak
pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini
sudah ditinggalkan. Dalam hukum positif Indonesia, misalnya dalam
“ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi
pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur
apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak pidana yang disebut dalam
ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal
25 ayat 7 atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi, UU Darurat No. 7 tahun 1955 Pasal 15
dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum
dapat menjadi subyek hukum pidana.
Sumber: http://minsatu.blogspot.co.id/2011/02/tindak-pidana-delik.html
Komentar
Posting Komentar