Abdullah Daeng Sirua, Orang Muhammadiyah yang diabadikan sebagai Nama Jalan di Makassar
Peta Jalan Abdullah Daeng Sirua
Blogger.com -- Abdullah Daeng Sirua yang dilahirkan tahun 1922. la adalah tokoh
masyarakat Kampung Tidung, Kota Makassar. Abdullah adalah anak dari
Yusuf Daeng Ngawİng dan ibu bernama Yalus Daeng Te’ne.
Yusuf, ayah Abdullah, adalah Kepala Kampung Mappala. la adalah
seorang yang berjuang menentang penjajah Jepang dan Belanda. Sikap
anti-penjajahannya diwarisi anaknya, Abdullah.
Abdullah baru menjelang naik ke kelas empat SD ketika Jepang mendarat
di Makassar tahun 1942. Semasa remaja, Abdullah pernah mengecap
pendidikan di Muallimin Muhammadiyah Jongaya. Disinilah ia banyak
menimba ilmu agama. Di sekolah ini pula, mantan Ketua PWM Sulselra Abdul
Wahab Radjab pernah belajar.
Merasa tidak puas hanya bersekolah sampai Muallimin, Abdullah
kemudian melanjutkan pendİdİkannya ke MULO, sebuah sekolah milik
Belanda. MULO adalah sekolah khusus untuk anak-anak Belanda dan prİbumİ
yang keturunan bangsawan.
Seperti yang dilakukan Kartini, selepas menempuh pendidikan di MULO,
Abdullah membagikan ilmunya kepada warga sekitarnya yang tidak dapat
mengeyam pendidikan formal. Abdullah menggunakan kolong rumahnya sebagai
kelas untuk mengajar. Hampir tiap sore, Abdullah mengajar mengajİ dan
ilmu agama.
Pada masa perang kemerdekaan, rumah Abdullah sebagai markas dan
tempat mensuplai makanan dan obat-obatan bagi para pejuang.
Abdullah yang melewati masa penjajahan Jepang dan Belanda, tumbuh
menjadi sosok pejuang yang sangat gigih melawan Belanda. Tak heran bila
Belanda kemudian menjadikannya target buruan utama.
Abdullah akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara
Pandangpandang di Gowa. la ditahan selama setahun dan akan
ditembak mati. Konon ketika matanya telah ditutup dan ditembak,
tembakan tak mengenai tubuh Abdullah.
Ketika Jepang masuk ke Makassar tahun 1942, Belanda meninggalkan
Indonesia. Kepergian Belanda diambil alih Jepang kemudian melanjutkan
penjajahan di Makassar. Jiwa patriotik Abdullah kembali terpanggil
untuk melakukan perlawanan. Ia bergabung ke organisasi laskar
pejuang, Kesatuan Harimau Indonesia (HI) dan Keris Muda untuk
menyerang Jepang.
Abdullah kemudian bertemu dengan tokoh-tokoh pejuang Sulawesi
Selatan seperti Wolter Monginsidi, Emmy Saelan, Raden Endang, dan
Siti Mulyati. Saat itu, rumah Abdullah di Kampung Tidung,
dijadikan sebagai markas para pejuang. Basis perjuangan mereka
menjangkau Takalar, Maros, Barru, sampai ke Malino, Gowa.
Selama berjuang, Abdullah sering ditangkap dan disiksa.
Kadang penangkapan dan penyiksaan yang dialaminya justru oleh bangsa
sendiri yang menjadi pasukan KNIL kaki tangan Belanda.
Sepanjang perjuangannya, Abdullah mengalami tiga kali penangkapan.
Ia pernah ditangkap dan disiksa bersama Ayahnya oleh tentara
KNIL. Ibu jari tangan Abdullah dan Ayahnya, diikat dan diseret
bersama dengan mobil. Penyiksaan itu berlanjut dalam bentuk
dipasung, dipukul, dan digantung oleh tentara KNIL. Kabar perlakuan
kejam itu menyebar ke penduduk kampung seperti Mappala, sale,
Tamamaung, Cilallang, dan Rappocini. Bahkan telah beredar kabar
kalau Abdullah telah meninggal dunia. Masyarakat kemudian
membentuk gerakan untuk melakukan penyergapan kepada antek-antek
KNIL, sehingga terjadi perlawanan besar-besaran dari masyarakat.
Ketika Belanda meninggalkan Indonesia, termasuk Makassar tahun
1949, Abdullah menjadi penceramah dan mengajar agama di berbagai
sekolah rakyat. Pada tahun 1970-an, Abdullah dikenal sebagai
salah seorang da’i di Kota Makassar. la juga pernah menjadi
Kepala Urusan Agama Kecamatan Karuwisi selama tujuh tahun.
Setelah itu, Abdullah ditugaskan sebagai Kepala Urusan Agama
Kecamatan Panakkukang selama tiga tahun. Ia kemudian dipindah
ke Kabupaten Gowa. Di sana dia menjadi Kepalala urusan haji hingga
pensiun tahun 1975.
Masa pensiun Abdullah , lebih banyak dihabiskan dengan
mengisi pengajian, ceramah dan pelajaran agama warga
sekitarnya. Dia meninggal tahun 1979 karena sakit. Namun ia
menolak dimakamkan di taman makam pahlawan, dan hanya meminta
dikuburkan di kampung kelahiran dan tempatnya berjuang bersama
ayahnya, yaitu kampung Tidung.
Sebelum wafat, Abdullah mengamanahkan agar kampung Tidung
tetap dilestarikan, termasuk satu sumur di depan rumahnya. Ia
meminta sumur itu tidak dibongkar, sebab pernah menjadi tempat
persembunyian Wolter Monginsidi. Ketika itu, Belanda mengepung
kampung. Monginsidi yang terjepit, kemudian masuk bersembunyi
ke sumur itu.
Konon Abdullah menolak namanya dijadikan sebuah narna
jalan jika ia meninggal. Tetapi jasa besarnya,
kepribadiannya yang teguh, pengabdianya yang tanpa pamrih,
membuat warga Tamamaung dan Masale bersikeras agar namanya
dijadikan nama jalan di wilayah itu. Kini nama Abdullah Daeng
Sirua menjadi nama sebuah jalan di Kota Makassar.
Jalan Abdullah Daeng Sirua terletak di Kecamatan Panakukang.
Jalan ini berbatasan Jalan Andi Pangerang Petta Rani di sebelah barat
dan ujung timurnya bersambung dengan jalan menuju Antang.
Sumber: Buku “Tokoh-tokoh di Balik Nama-nama Jalan Kota
Makassar”, karya Ahyar Anwar dan Aslan Abidin (2008), diterbitkan Nala
Cipta Litera.
http://www.khittah.co/abdullah-daeng-sirua-orang-muhammadiyah-yang-diabadikan-sebagai-nama-jalan-di-makassar/7723/
Komentar
Posting Komentar