Indonesia Hitam Putihh
Oleh : Haedar Nashir
Ketua PP Muhammadiyah Periode 2015-2020
Ketua PP Muhammadiyah Periode 2015-2020
Blogger.com -- Benarkah kita mencintai Indonesia sepenuh jiwa-raga tatkala kehidupan
kebangsaan saat ini sarat tarikan kepentingan yang serba niscaya?
Manakala di antara komponen bangsa dengan gampang mengumbar amarah di
ranah publik hanya karena masalah praktis. Pertanyaan sederhana ini
layak untuk direnungkan ketika segenap rakyat di negeri ini merayakan
hari kemerdekaan Indonesia ke-72.
Fakta berbicara terbuka. Sekelompok orang bertepuk dada sebagai penjaga
garda terdepan Indonesia. Berslogankan NKRI dan Pancasila harga mati.
Namun begitu kepentingan sendiri terganggu, sertamerta menyebar
kejengahan dan kangkuhan kolektif di ruang publik. Tak lupa menebar
ancaman politik, tidak akan memberi dukungan dalam kontestasi politik
2019 kepada elite negeri yang tidak mengakomodasi kepentingannya.
Kelompok lain bersuara lantang. Siapa menolak PERPPU Ormas maka sama
dengan anti-Pancasila, anti-NKRI. Sebaliknya mereka yang mendukung
PERPPU berarti bela NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Sikap serba pilihan ganda itu digelorakan dengan fanatik buta seolah
dunia keindonesiaan diambang kiamat.
Pihak lain melakukan politisasi yang sama. Menolak PERPPU berarti
mendukung kelompoknya, sembari mengakapitalisasi posisi diri selaku
korban politik kebijakan pemerintah. Lahirlah para hero baru, siapa
melawan PERPPU dan anti-pemerintah sama dengan pejuang kebenaran sejati
di Republik ini. Sebaliknya, mereka yang berada di seberang lain
dianggap lemah dan sontoloyo.
Berbangsa dan bernegara menjadi hitam-putih. Saling bertabrakan keras.
Masuk dalam pendulum ekstrem, kalau tidak A maka B. Bendera Indonesia
yang berkibar di seluruh sudut negeri memang masih berwarna merah-putih
dalam kesemerakkan yang tak tertandingi. Tetapi alam pikir, sikap, dan
tindakan ber-Indonesia menjadi hitam-putih yang serba dangkal. Menjadi
naif dan berkaca-mata kuda!
Oposisi Biner
Kenapa alam pikir dan sikap serba hitam putih cenderung merebak dalam
kehidupan kebangsaan di negeri tercinta ini? Bukan hanya dunia politik
yang dangkal, saling sandera, dan mudah gaduh. Hukum pun makin kering
dari filosofi dan bingkai etik, bahkan rentan politisasi. Beragama lebih
banyak verbalisme, yang tak menyentuh pesan suci yang mencerdaskan dan
mencerahkan kehidupan. Klaim agama rahmatan lil-'alamin, tapi perangai
kolektif jauh panggang dari api.
Berbagai bingkai dan pelabelan sosial yang kontras seolah menjadi
instrumen kolektif baru di tubuh bangsa ini. Kanan versus kiri, radikal
lawan moderat, pro dan anti-NKRI, pro dan anti-Pancasila, pro dan
anti-kebinekaan, dan beragam kategorisasi lainnya yang bertumbuh menjadi
pola pikir kolektif. Kata-kata eksrem kanan dan ekstrim kiri diproduksi
intens ke ruang publik, mengingatkan kita ke masa Orde Baru. Mengklaim
moderat tapi sering ekstrem dan mudah marah ketika masuk ke area
kepentingan diri, sehingga menjadi ekstrem-tengah.
Di kalangan umat beragama, lebih-lebih melalui media sosial mekar
ujaran-ujaran teologis bernuansa garang dan amarah. Kata-kata sesat,
munafiq, kafir, dhalim, dan kategorisasi keagamaan lainnya diproduksi
dengan mudah di ranah publik. Lawan katanya tentu saja yang serba imani,
yang kadang mengarah ke tazakku atau sifat paling diri suci.
Reproduksinya dalam ujaran dan tulisan tidak jarang ekstrem, sehingga
kehilangan sentuhan damai dan lembut hati sebagaimana uswah khasanah
Nabi.
Ketika sebagian orang berusaha eklektik dipandang tak punya sikap,
abu-abu, dan ambigu karena standar yang dipakai hitam-putih atau pilihan
ganda yang ekstrem. Sikap tengahan dianggap nifaq atau hipokrit.
Kenisbian dikalahkan oleh absolutisme. Objektivitas disandera
subjektivitas. Pola pikir esai direduksi pilihan ganda. Kurvanya menjadi
tidak normal lagi, karena bagian tengah ikut terarsir atau mengarsirkan
diri dalam warna hitam-putih yang juga ekstrem. Pilihan ekstrem seakan
menjadi arus utama, jika tidak ekstrem bukanlah pilihan yang benar.
Dalam bingkai nalar post-modern ala Ferdinand de Saussure dan Claude
Levi-Strauss dari mazhab pos-strukturalis Perancis, alam pikir hitam
putih menyeret manusia pada paham oposisi biner yang dangkal dan naif.
Bahwa kategorisasi oposisi biner pada awalnya merupakan penanda yang
memiliki keterkaitan esensi dan makna, bukan keterpisahan dan
pertentangan. Mereka yang berbeda secara kategoris, seperti laki-laki
dan perempuan menjadi eksis karena keduanya memang berbeda untuk saling
terhubung. Keislaman dan keindonesiaan merupakan oposisi biner yang
dapat saling bermakna dan berguna dalam keterhubungan yang menguatkan
eksistensi keduanya, meski berbeda.
Namun di tangan orang-orang yang berpikiran hitam putih plus memiliki
kepentingan tertentu, oposisi biner keislaman dan keindonesiaan seperti
halnya relasi laki-laki dan perempuan kemudian dibenturkan untuk saling
berhadapan sehingga terjadi konflik. Orang kalau sudah senang
berlebihan, begitu pula sekali tak suka maka selamanya serba alergi.
Sebanyak mungkin diproduksi isu-isu oposisi biner untuk menghasilkan
konsleting dalam kehidupan berbangsa seperti pendukung Perppu versus
penentang, ormas keagamaan lawan ormas kemasyarakatan, kaum Islamis
versus nasionalis, pro-NKRI lawan anti-NKRI, pendukung lawan
anti-Pancasila, kaum kanan versus kiri, serta isu-isu sensitif lainnya
yang serba kontras yang muaranya menghasilkan benturan antarkomponen
bangsa maupun antarkomponen bangsa dengan pemerintah.
Goresan hitam-putih menjelma menjadi paradoks kehidupan dalam berbangsa
dan bernegara. Mengklaim kebhinekaan tetapi tidak toleran terhadap
perbedaan. Mengaku moderat tetapi serbaekstrem. Telunjuk lurus menuding
pihak lain radikal, saat yang sama bertindak radikal. Lemah lembut
dipandang ringkih, sementara kegarangan dijadikan baju keangkuhan.
Beragama pun sebatas formalisme, sementara perangai berlawanan dengan
nilai-nilai luhur yang dititahkan Tuhan dalam kanopi kehidupan yang
sarat makna Ilahi dan kenabian nan hanif. Inilah dunia hitam-putih dalam
balutan verbalisme yang dangkal, naif, dan kehilangan makna utama!
Menemukan makna
Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi
bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas
bangsa, ujar Spinoza. Para pendiri bangsa berbulan-bulan membahas dan
berdebat secara mendalam seputar dasar negara dari Indonesia yang akan
didirikan, bersambung beberapa tahun hingga puncaknya di sidang
Konstituante. Meski sering berbeda pandangan secara tajam, para tokoh
bangsa itu isi kepala dan hatinya luar biasa kaya dengan pemikiran dan
kearifan, sehingga menjadi sosok-sosok negarawan yang adiluhung.
Indonesia sebagai negara dan bangsa sebenarnya dibangun dengan fondasi
pemikiran yang kokoh yang bermuara pada apa yang disebut Soekarno
sebagai Weltanschauung atau pandangan hidup yang terkandung dalam
Pancasila sebagai dasar negara dan agama yang menjiwai nilai-nilai
Pancasila serta terrtanam kuat dalam ruhani bangsa Indonesia sejak lama.
Para elite negeri harus punya cukup wawasan luas dalam memimpin
Indonesia agar tidak hitam putih dan dangkal dalam mengambil keputusan,
sekaligus memiliki referensi kenegarwanan yang melampau.
Pancasila dan agama yang hidup di negeri ini pun harus dipahami secara
mendasar dan luas oleh para petinggi negeri agar tidak kering nilai dan
visi. Agama dan Pancasila menyatu dalam alam pikiran masyarakat
Indonesia yang relijius, altruis, dan humanistik.
Bagi umat beragama Pancasila bukanlah agama, tetapi kandungan setiap
Sila-nya sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama. Termasuk bagi umat
Islam sebagai pemeluk agama mayoritas, Pancasila senapas dengan nilai
ajaran Islam. Pancasila menyerap nilai-nilai agama, lebih-lebih pada
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa plus keempat sila lainnya. Pada Pembukaan
maupun pasal 29 UUD 1945 agama memperoleh tempat konstitusional yang
kokoh.
Maka setiap pandangan dan usaha yang mempertentangkan keduanya menjadi
tidak bermakna dan bahkan meluruhkan nilai dasar keduanya sebagai sumber
nilai luhur berbangsa. Sebaliknya menyatukan keduanya secara sinkretis
juga sama meluruhkan kedua nilai dasar itu, karena keduanya memiliki
tempat yang berbeda, di mana agama merupakan ajaran suci bersumberkan
wahyu Ilahi, sementara Pancasila lahir dari buah pikiran manusia yang
disepekati untuk menjadi dasar bernegara. Keduanya memiliki maqom
berbeda tetapi memiliki makna yang penting dan mendasar dalam memberi
fondasi nilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pula, Indonesia tidak dapat dikonstruksi dan diisi dengan
ideologi sekuler, komunisme, dan paham lain yang berrtentangan dengan
agama dan Pancasila. Pandangan ini mesti menjadi dasar berpikir dan
bertindak segenap warga dan elite bangsa agar NKRI memiliki jiwa, alam
pikiran, dan pola tindak yang mendasar dan benar sebagaimana kehendak
para pendiri bangsa. Meski saat ini Indonesia memasuki fase baru
demokratisasi dan penegakkan hak asasi manusia yang mengikuti alam
pikiran universal dalam beragam ratifikasi produk PBB, tetapi tidaklah
bebas dan bertentangan dengan Pancasila dan agama yang hidup dalam jiwa
bangsa Indonesia.
Agenda penting yang bersifat aktual ialah bagaimana menerapkan dan
mewujudkan nilai-nilai agama dan Pancasila dalam mencerahkan kehidupan
kebangsaan, sehingga negeri dan bangsa ini tidak kehilangan pijakan dan
arah laksana layang-layang yang putus tali. Di tubuh bangsa ini bukan
verbalisme berbangsa yang harus didengungkan, tetapi harus masuk ke
ranah internalisasi dan pelembagaan nilai sehingga mengaktual dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan
Kebhinekaan jangan menjadi jargon verbal minus isi dan tindakan.
Keberadaan bangsa dan negara tidak cukup memadai hanya bermodalkan
idiom-idiom verbal tentang keindonesiaan seperti NKRI harga mati,
Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan yang formalistik. Pun tidak dapat
dibangun dengan relasi kuasa dalam demokrasi verbal dan prosedural.
Keindonesia tidak dapat hitam-putih, lebih-lebih dengan logika-logika
dangkal dan naif. Berindonesia meniscayakan jiwa, pikiran, dan pola
tindak yang filosofis dan ideologis dalam frame Pancasila maupun agama
yang menjadi sukma keyakinan bangsa Indonesia. Penisbian apalagi
pengingkaran atas nilai-nilai agama dan Pancasila sama dengan luruhnya
ke-Indonesia-an.
Apalah artinya menggelorakan cinta Indonesia dan cinta Pancasila
manakala berhenti pada ujaran dan retorika. Apalagi mana kata tak
sejalan dengan tindakan. Jangan biarkan Indonesia diluruhkan perilaku
yang bertentangan dengan ajaran agama maupun Pancasila seperti korupsi,
menguras kekayaan negara, membiarkan tangan-tangan serakah menggerogoti
negeri, berbuat sewenang-wenang, menebar ketidakadilan, serta segala
tindakan lain yang menyengsarakan rakyat dan meruntuhkan sendi-sendi
kehidupan bangsa. Keserakahan pun jangan dibiarkan merajalela, sehingga
kelompok kecil yang perkasa menguasai mayoritas yang lemah tanpa kendali
kuasa negara, serta kelompok-kelompok komunal yang sarat keangkuhan
kolektif mendikte kuasa negara.
Lalu, negara pun menjadi ringkih dan mudah terombang-ambing oleh
beragam perangai anarkhis para penghuninya. Banyak orang kehilangan visi
dan gampang bertindak kekanak-kanakan. Apa saja boleh dilakukan di
negeri ini, sementara biduk negeri kehilangan kendali. Persis laksana
ekspedisi kapal raksasa di tengah samudra lepas bergelombang dahsyat
minus nakhoda tangguh dan kompas berlayar ke arah tujuan yang pasti.
Fa-aina tadzhabun? Hendak dibawa ke mana Indonesia yang berusia 72 tahun
ini dalam berlayar menuju pantai harapan?
Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di Harian Republika pada Ahad (13/8)
Sumber: muhammadiyah.or.id
Komentar
Posting Komentar